waspada Toxic relationship, lantas bagaimana menjalin hubungan yang sehat? begini tips dari PLT UIN Sunan Kalijaga
dalam bersosial, kita kerap dihadapkan oleh berbagai macam individu atau kelompok. Sehubungan dengan ini, berbagai sikap juga kian menghampiri. Secara bersamaan, sebuah respon-pun muncul sebagai pertanda adanya sebuah interaksi. Kendati demikian, tidak semua interaksi berkelindan sebagaimana harapan kedua belah pihak. Termasuk hubungan terhadap seorang pasangan, sehingga muncul berbagai fenomena-fenoma sosial salah satunya yakni toxic realtionship.
apa itu toxcic relationship?
toxic realtionship merupakan sebuah tindakan kurang menyenangkan yang terjadi di dalam sebuah hubungan baik di dalam keluarga, persahabatan dan pasangan. Toxic relationship atau hubungan beracun merujuk pada hubungan yang merugikan salah satu pihak, Kurnianingsih menjelaskan bahwa toxic realtionship berpengaruh pada kondisi psikologis, psikis dan dampak merugikan lainnya. adapun tanda-tanda sebuah hubungan disebut sabagai toxic yakni ketika tidak adanya dukungan dari pasangan, komunikasi yang kurang baik, cemburu yang berlebihan, mengontrol perilaku, ketidakjujuran, kegelisahan, mengabaikan kebutuhan, timbulnya jarak pada kerabat, kurang merawat diri dan memiliki harapan untuk pasangan untuk berubah dengan cara merubah diri (sumber https://www.halodoc.com diakses pada 12 Juli 2024). Dengan ini hubungan yang toxic selalu mengarah pada suatu hal yang negatif pada salah satu pihak. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari jika ia sedang berada di dalam hubungan yang toxic.
Dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tercatat ada 4.588 kasus kekerasan di dalam hubungan antar teman atau pacar sepanjang tahun 2022. Sementara komnas perlindungan anak dan perempuan melaporkan bahwa terdapat 1873 kasus kekerasan di dalam hubungan berpacaran sepanjang tahun 2017 dan angka ini meingkat pada tahun 2019 sebesar 2073 kasus. Dengan ini, toxic relationship merupakan sebuah fakta sosial yang harus disadari secara penuh untuk difahami dan ditinggalkan.
Tak dapat dipungkiri, sebagian besar remaja atau anak muda menjalankan sebuah relasi lawan jenis berupa pacaran. Apakah hal ini harus dinormalkan atau diabaikan? Erich Fromm menyebutkan bahwa cinta merupakan sebuah ikatan yang menunjukkan eksistensi manusia. Dalam hal ini, manusia diberi kesadaran akan kehadiran dirinya dan orang lain. Kemudian, cinta dapat menggabungkan kedua entitas manusia yang berbeda di dalam suatu ikatan. Perasaan cinta biasanya diawali dengan suatu yang indah-indah sampai terabaikannya kesadaran akan munculnya toxcic relationship. kendati demikian, tidak semua hubungan melahirkan adanya toxcic relationship. akan tetapi kita harus mengetahui dan menyadari akan adanya toxic relationship agar meminimalisir terjadinya kekerasan termasuk menjadi korban dan tersangka.
lantas bagaimana menjalankan hubungan yang sehat?
setelah mengenali jenis dan dampak toxic, maka menjalankan hubungan yang sehat keadalah pilihan yang tepat. Hubungan yang sehat bisa dimulai dengan konsep-konsep kesalingan alam arti memahami satu sama lain. Nur Afni di dalam podcast KBGO PLT UIN Sunan Kalijaga menyebutkan bahwa kita jangan gampang mengirimkan suatu hal yang bersifat privasi kepada orang lain sebagai salah satu upaya adanya kekerasan. Hal ini dapat menjadi landasan dalam menyikapi hubungan yang toxic dengan membatasi hubungan-hubungan dengan orang lain (baca: akan lebih baik jika kedua belah pihak memahami privasi satu sama lain). Selan itu, kita juga harus memahami dan menjalankan komunikasi yang baik serta menyelesaikan konflik dengan bijak.