Yuk Kenali Macam-Macam Kekerasan Seksual dan Bagaimana Mengatasinya

Bayangkan saat sedang berjalan di trotoar atau menunggu Trans Jogja di halte, tiba-tiba seseorang melontarkan komentar yang tidak pantas kepadamu. Mungkin hanya berupa siulan atau kata-kata bernada seksual, tetapi tetap saja itu membuatmu merasa tidak nyaman. Inilah yang dirasakan oleh banyak korban kekerasan seksual di ruang publik—pengalaman yang mungkin tampak sepele bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya merupakan bentuk pelecehan yang nyata dan berdampak.
Tindakan seperti ini sering kali dianggap remeh, padahal pelecehan seksual, sekecil apa pun bentuknya, tetap merupakan bentuk kekerasan yang merampas rasa aman seseorang. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2025, yang baru berjalan tiga bulan ini, sudah ada 4.906 kasus kekerasan seksual yang tercatat. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dan semakin menegaskan bahwa kekerasan seksual di ruang publik bukanlah kasus yang jarang terjadi.
Sayangnya, banyak orang yang memilih diam saat menghadapi atau menyaksikan kejadian seperti ini, entah karena takut, bingung, atau merasa tidak tahu harus berbuat apa. Padahal, semakin banyak individu yang sadar dan berani bertindak, semakin besar pula peluang untuk mencegah dan menekan angka kasus pelecehan di ruang publik. Lantas, apa saja bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi di ruang publik? Dan jika kita mengalaminya atau menyaksikannya, bagaimana sebaiknya kita merespons?
Banyak yang mengira kekerasan seksual hanya terbatas pada pemerkosaan atau kekerasan fisik, padahal bentuknya jauh lebih luas dan sering terjadi tanpa disadari. Sepetri yang dijelaskan oleh Camilla Anindita dalam Beautynesia, pelecehan verbal seperti catcalling atau komentar bernada seksual bukanlah bentuk pujian, melainkan tindakan yang bisa membuat target merasa tidak nyaman. Selain itu, dr. Kevin Adrian dalam Alodokter juga menyoroti bahwa pelecehan seksual juga dapat terjadi dalam bentuk non-verbal, seperti tatapan mengintimidasi atau gestur tubuh yang tidak pantas.
Di ranah digital, pelecehan online juga marak terjadi, seperti mengirim pesan, gambar, atau video bernuansa seksual tanpa persetujuan melalui media sosial atau aplikasi kencan. Sementara itu, pelecehan fisik mencakup tindakan seperti menyentuh tanpa izin di tempat umum, serta eksibisionisme dan voyeurisme, yaitu menunjukkan bagian tubuh secara tidak pantas atau merekam orang lain tanpa izin. Bentuk yang paling berbahaya adalah serangan seksual hingga pemerkosaan, yang dapat meninggalkan dampak jangka panjang bagi korban, baik secara fisik maupun mental.
Ketika menghadapi atau menyaksikan kekerasan seksual di ruang publik, respons yang tepat sangatlah penting. Jika menjadi korban, hal pertama yang harus dilakukan adalah tetap tenang dan mencari cara untuk keluar dari situasi tersebut. Jika memungkinkan, carilah bantuan dari orang sekitar atau petugas keamanan. Jangan ragu untuk melaporkan kejadian ini karena diam hanya akan memberi pelaku kesempatan untuk mengulangi perbuatannya.
Ketika menyaksikan kekerasan seksual di ruang publik, sering kali kita merasa bingung atau tidak tahu harus bertindak seperti apa. Namun, penting untuk tetap tenang dan tidak bereaksi dengan emosi agar situasi tidak semakin buruk. Seperti yang dijelaskan oleh Ellyvon Pranita dan Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas dalam Kompas, salah satu cara efektif yang dapat dilakukan adalah menerapkan metode 5D, yaitu lima langkah yang dirancang untuk membantu korban sekaligus mencegah eskalasi kejadian.
Langkah pertama adalah Dialihkan (Distract), yaitu mengalihkan perhatian pelaku atau korban agar pelecehan terhenti. Cara ini bisa dilakukan dengan berpura-pura mengenal korban dan mengajaknya berbicara atau menciptakan gangguan kecil di sekitar. Selanjutnya, Dilaporkan (Delegate), yaitu meminta bantuan dari pihak berwenang seperti petugas keamanan, staf fasilitas umum, atau polisi, terutama jika situasi dirasa berbahaya untuk turun tangan secara langsung.
Langkah berikutnya adalah Didokumentasikan (Document), yaitu merekam atau mencatat kejadian sebagai bukti. Namun, penting untuk memastikan bahwa dokumentasi ini hanya digunakan untuk membantu korban melaporkan insiden, bukan untuk disebarluaskan tanpa izin. Selain itu, Ditegur (Direct) juga bisa menjadi langkah yang efektif jika situasi memungkinkan. Menegur pelaku dengan tegas, seperti dengan mengatakan bahwa tindakannya tidak pantas, dapat menghentikan pelecehan. Namun, konfrontasi fisik harus dihindari demi keselamatan.
Terakhir, Ditenangkan (Delay), yaitu mendampingi korban setelah kejadian, menanyakan apakah mereka membutuhkan bantuan, serta memastikan mereka merasa aman. Dukungan kecil seperti ini dapat membantu korban merasa lebih kuat dan tidak sendirian dalam menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita semua dapat berperan dalam menciptakan ruang publik yang lebih aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Selain menangani kasus yang sudah terjadi, kita juga dapat berperan dalam mencegah kekerasan seksual di ruang publik. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menegakkan hukum yang lebih tegas. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum secara adil dan tegas agar ada efek jera.
Selain itu, edukasi mengenai kekerasan seksual perlu ditingkatkan, baik melalui kurikulum sekolah, kampanye media sosial, maupun kampanye publik. Pemerintah dan pihak terkait juga harus memastikan ruang publik lebih aman, misalnya dengan memperbaiki penerangan, memasang CCTV, atau meningkatkan keamanan di tempat-tempat yang rawan pelecehan. Di sisi lain, korban kekerasan seksual juga perlu diperhatikan, seperti mendapatkan dukungan psikologis agar mereka tidak merasa sendirian serta dapat bangkit kembali.
Kekerasan seksual di ruang publik adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian kita semua. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari pelecehan verbal hingga pemerkosaan, dan dapat terjadi kapan saja serta kepada siapa saja.
Sebagai individu, kita bisa berperan dalam mencegah dan menanggulangi masalah ini. Baik sebagai korban, saksi, maupun bagian dari masyarakat, kita dapat melakukan hal-hal kecil seperti berani bersuara, membantu korban, atau mendukung kebijakan yang melindungi hak semua orang untuk merasa aman di ruang publik. Sekecil apa pun tindakan yang kita lakukan, itu bisa memberikan perubahan besar. Dunia yang lebih aman dimulai dari kesadaran dan aksi nyata kita bersama.