Bias Gender Dalam Dunia Pendidikan
Seperti yang dikatakan Paulo Freire (1970/2025) seorang filsuf pendidikan, pendidikan adalah jalan menuju kebebasan. Dan kita sendiri juga menyadari bahwa pendidikan adalah tempat untuk bertumbuh sesuai potensi kita, tanpa memandang gender. Namun, penulis juga menyadari bahwa dalam pendidikan juga masih ada bias gender yang terjadi, baik di dalam kelas ataupun bagaimana cara kita memandang kemampuan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga tak heran jika pelecehan seksual mash terjadi, dan tak heran juga jika melihat seorang guru pilih kasih antara murid perempuan dengan laki-laki.
Fenomena tersebut tak hanya terjadi di sekolah, tapi terjadi juga pada perguruan tinggi. Pelestarian peran gender tradisional, seperti laki-laki menjadi seorang pemimpin sedangkan perempuan untuk melayani, laki-laki menjadi PresBEM, sedangkan yang perempuan mentok-mentok menjadi sekertaris. Hal itu tak hanya didorong oleh faktor guru, dosen atau pengajar, tapi dipengaruhi oleh struktur yang meng-amini. Padahal, Bell Hooks, seorang aktivis sosial Amerika Serikat mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi tempat praktik kebebasan, ruang yang membebaskan semua manusia dari dominasi, termasuk dominasi cara berpikir yang bias terhadap gender (Jane Currell 2022).
Data terbaru dari SIGA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2024) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 19-23 tahun untuk perempuan mencapai 31,78%, sedangkan untuk laki-laki hanya 26,35%. Dari data tersebut terlihat menggembirakan, karena perempuan yang selama ini diposisikan nomor dua, kini memiliki partisipasi sekolah lebih besar dibandingkan laki-laki. Namun, perlu disadari juga bahwa data tersebut tak sesuai dengan realita masa depan di lapangan. Kita menemukan bahwa laki-laki lebih cepat terserap ke dunia kerja, sementara perempuan masih berjuang untuk mendapatkan posisi setara setelah lulus.
Di sisi lain, bias gender dalam pendidikan terlihat juga dalam kurikulum pengajaran. Penelitian “Ketidaksetaraan Gender dalam Buku Teks Siswa Kurikulum 2013” oleh Zulmi Dkk. (2017) menemukan bahwa dalam buku pelajaran siswa, masih sering digambarkan kalau laki-laki berada di ruang publik, berperan sebagai pemimpin dan pekerja keras. Sementara perempuan digambarkan di ruang domestik seperti memasak atau mengurus keluarga. Padahal gambaran seperti ini secara tidak sadar akan membentuk pandangan peserta didik tentang siapa yang layak tampil di depan dan siapa yang tak layak. Dan secara tidak langsung juga sistem pendidikan yang ada, menindas kaum perempuan dengan menanamkan hal semacam itu.
Pada akhirnya, pendidikan bukanlah untuk mendapat ijazah semata, melainkan tempat untuk menumbuhkan apa yang disebut Freire sebagai kesadaran kritis. Melalui pendidikan seseorang seharusnya menyadari bahwa setiap orang, baik laki-laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama akan kebebasan. Seperti dalam teori pendidikan feminis, bahwa pendidikan semestinya menjadi ruang pembebasan, bukan alat yang memperkuat bias dan ketimpangan sosial.
Sayangnya, dalam realita yang kita lihat sekarang masih banyak lembaga pendidikan yang menerapkan sistem feodal. Perbedaan dilihat sebagai ancaman, suara kritis dibungkam, takut akan kritik. Padahal, pendidikan sejatinya melahirkan pemikir. Mengutip dari Guru Gembul dari kanal YouTube-nya, bahwa pemikir adalah berani mempertanyakan. Termasuk keberanian untuk mempertanyakan ketidakadilan, atau ketimpangan gender yang terdapat dalam pendidikan, di buku pelajaran, atau bahkan dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menghargai kebebasan, dan pendidikan semacam itu mestilah terwujud. Guru, dosen, dan kurikulum haruslah menempatkan kesetaraan sebagai suatu yang sangat penting, dan mendorong murid untuk dapat berpikir kritis demi menghasilkan manusia yang tak hanya punya ijazah, melainkan kesadaran akan realitas sosialnya. Kesetaraan gender bukan hanya perjuangan perempuan, melainkan perjuangan kemanusiaan. Pendidikan yang adil adalah pendidikan yang memberi kesetaraan pada setiap manusia untuk menjadi manusia seutuhnya, tidak ada pengkotakan gender. Pendidikan seperti itulah yang dinamakan pendidikan yang membebaskan, setiap orang bebas untuk belajar, bermimpi, dan bertumbuh.
Red: Sukron Hidayat