Fenomena Love Scamming: Pacaran Virtual Berujung Transferan


Dewasa ini, modus-modus penipuan marak terjadi, tak salah satunya yakni mereka yang menggunakan embel-embel cinta dan asmara atau love scamming. Dilansir dari Pusiknas Bareskrim Polri, love scamming adalah penipuan yang berkedok asmara atau romansa secara daring. Pelaku (scammer) menciptakan hubungan yang tampak tulus dengan korban melalui kata-kata cinta dan perhatian intens. Setelah membuat korban merasa emosional dan percaya, mereka kemudian meminta uang, biasanya dengan alasan darurat seperti biaya perjalanan, pengobatan, atau hadiah. Lalu menghilang begitu saja setelah tujuan finansial tercapai. Walaupun istilah ini untuk di era digital, sebenarnya kalau kita lihat, kasus love scamming ini sudah ada sejak manusia mengenal pacaran dan penipuan. Sebab pada dasarnya, modus ini berakar dari kepura-puraan mencintai seseorang demi keuntungan pribadi.
Namun di era digital, love scamming berkembang semakin luas. Di mana para pelaku bisa menggunakan sosial media seperti Instagram, Facebook, Telegram, hingga Whatsapp dengan menggunakan identitas palsu. Biasanya, pelaku menggunakan foto orang lain yang menarik dan profil yang tampak meyakinkan, lalu memulai komunikasi intens hanya lewat teks. Pelaku akan menghindari panggilan suara atau video, dan jika pun dilakukan, wajah mereka tetap disamarkan agar identitas palsunya tidak terbongkar.
Selain itu mengutip dar Tempo, modus dari love scammer pun berlangsung singkat. Setelah beberapa hari atau minggu, pelaku langsung mengutarakan perasaan cinta dan menjanjikan komitmen yang serius. Di saat korban mulai terikat secara emosional, pelaku mulai menceritakan berbagai masalah, terutama persoalan keuangan yang mendesak, entah untuk pengobatan, tiket pulang, atau hadiah yang tertahan. Permintaan uang biasanya dikirim melalui transfer biasa atau metode digital yang sulit dilacak. Untuk menghindari pertemuan langsung, pelaku sering berdalih sedang berada di luar negeri atau sibuk dengan pekerjaan internasional. Semua ini dilakukan untuk menjaga kebohongan tetap utuh dan menciptakan kesan bahwa hubungan tersebut benar-benar nyata.
Banyak korban love scamming terjebak karena kondisi emosional seperti kesepian dan kebutuhan akan perhatian. Mengutip dari detikHealth, Psikolog Anastasia Sari Dewi menjelaskan bahwa orang yang kesepian atau kurang interaksi sosial lebih mudah percaya pada kedekatan daring, apalagi jika pelaku memberikan perhatian intens dan cepat mengutarakan cinta. Setelah ikatan emosional terbentuk, korban cenderung sulit menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Selain itu mengutip dari Kompas, Psikolog Meity Arianty menyebutkan bahwa perasaan malu, takut dicemooh, serta kelekatan emosional membuat banyak korban tetap bertahan, bahkan setelah mengalami kerugia. Top of FormBottom of Form
Korban love scamming tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap orang lain. Rasa malu karena merasa “bodoh” membuat mereka menutup diri dan tidak mau melapor. Ironisnya, masyarakat kita kerap menyalahkan korban, seolah-olah cinta yang tulus harus selalu disertai kecurigaan sejak awal. Pandangan yang tidak menyetarakan gender juga memperparah keadaan, terutama bagi perempuan yang sering kali justru didiskreditkan saat menjadi korban. Padahal, cinta memang membutakan, dan di era digital, perasaan itu kerap dimanfaatkan oleh pelaku demi keuntungan pribadi. Tak mengherankan jika kasus love scamming terus berulang, karena korban memang tidak diberikan ruang aman untuk bercerita, apalagi meminta bantuan, khusunya di masyarakat kita.Bottom of Form
Untuk itu, dibutuhkan sikap kritis dan peningkatan literasi digital dalam mencegah berbagai bentuk penipuan di ranah daring. Jangan mudah percaya pada orang asing yang baru dikenal, apalagi jika mereka enggan bertemu langsung dan tiba-tiba meminta uang. Penting untuk tetap menggunakan logika dalam membangun hubungan emosional, termasuk memverifikasi informasi yang diberikan serta memastikan bahwa lawan bicara benar-benar orang yang nyata. Selain itu, berbagi cerita dengan orang yang dipercaya dapat membantu memberikan perspektif lain dan menjaga kita dari potensi manipulasi dalam hubungan digital.
Selain upaya individu, pencegahan love scamming juga memerlukan dukungan dari pihak luar agar kasus serupa tidak terus terulang. Pemerintah memiliki peran krusial dalam penanganan kasus seperti ini. Pemerintah seharusnya menyediakan kanal aduan yang mudah diakses, serta memperkuat literasi digital masyarakat dengan melakukan sosialisasi yang menekankan pada kewaspadaan emosional, bukan hanya sekedar membuat kebijakan tanpa dukungan serius. Selain itu, masyarakat pun perlu menciptakan ruang aman bagi korban untuk bercerita tanpa takut disalahkan. Sebab sering kali, stigma yang dibuat masyarakat justru membuat korban memilih diam, sehingga masalah tak dapat diselesaikan.
Pada akhirnya, cinta yang sehat bukanlah tentang memiliki sepenuhnya, apalagi menuntut hingga mengorbankan aspek finansial maupun mental. Dalam era digital, hubungan tetap bisa tumbuh dengan sehat selama kita mampu bersikap kritis dan tidak mudah terbawa oleh perasaan. Penting bagi kita untuk sadar akan pentingnya literasi digital, sekaligus menciptakan lingkungan yang ramah dan terbuka bagi para korban. Ruang bercerita yang aman dapat menjadi langkah awal dari penyelesaian masalah. Sebab pencegahan terbaik tak selalu dapat diselesaikan oleh diri sendiri, tapi juga membutuhkan lingkungan yang peduli.

Red: Sukron Hidayat